SHARE

Istimewa

Di sisi lain saat Megawati bicara apabila selfie banyak yang akan mendukungnya, bukan seperti pembahasan yang ada di ruang publik bahwa dia narsis, namun justru Megawati sedang mengkritik narsisme politik dengan bahasa yang satire, bahwa politik itu soal substansi menjadikan ideologi sebagai arah jalan menerangi perjalanan bersama rakyat jembatan emas kemerdekaan bahwa berpolitik bukan gimmick pencitraan.

Selain itu, ketika Megawati mengingatkan pada Jokowi untuk konsisten dengan dua periode.

"Saya justru melihat inilah salah satu elemen kuat dalam pidato Megawati. Beliau memperlihatkan perhatian tulusnya kepada Jokowi, bahwa pembatasan kekuasaan sebagai substansi demokrasi harus dipegang teguh, karena Jokowi adalah bagian dari PDI Perjuangan. Pemimpin Republik Indonesia yang lahir dari kawah candradimuka politik partai ini," ujarnya.

Ketulusan tersebut terlihat bahkan Megawati mengingatkan pada pengalaman traumatik dalam hidupnya ketika ayahnya Bung Karno dijebak dengan Presiden Seumur Hidup yang justru pada akhir kekuasaannya, Bung Karno dijatuhkan oleh orang-orang yang mengusung gagasan tersebut.

"Hal penting lainnya dalam pidato tersebut adalah penekanan atas politik emansipasi kesetaraan laki-laki dan perempuan yang seharusnya menjadi lebih maju dalam demokrasi kita," katanya.

Megawati mengungkapkan hal itu dengan mengutip buku Sukarno berjudul Sarinah, serta menyebutkan perempuan-perempuan pahlawan pendahulu mulai dari Cut Nyak Dhien, Laksamana Malahayati sampai ibu Supeni duta besar keliling Indonesia yang dilantik oleh Bung Karno.

Menurut Airlangga, pesan-pesan politik progresif ini terasa asing di benak kita saat ini, saat politik lebih didominasi oleh hegemoni semangat individualisme, corak politik yang mengambang yang melihat tidak ada koneksi antara politik kekuasaan dan partai sebagai organ kolektif yang terlibat mendeterminasi proses politik yang berlangsung.

Sehingga, ujar dia, tidak heran apabila pandangan-pandangan yang muncul atas pidato tersebutlah yang sebetulnya dangkal dan tidak memahami tradisi politik ideologis yang menjadi bagian dari kehidupan politik di Indonesia dalam masa keemasan politiknya.

"Untung saja pada momen 50 tahun ultah PDI Perjuangan Ketua Umumnya Megawati maju ke gelanggang narasi politik yang bernas. Meskipun resikonya isi pidatonya disalahpahami," tutur Airlangga.

Halaman :