SHARE

Istimewa

CARAPANDANG - Harga emas dunia naik tipis pada hari ini, Selasa (30/4/2024) di tengah sikap wait and see pelaku pasar perihal suku bunga bank sentral AS (The Fed) pekan ini. Namun, harga emas dalam ancaman besar jika keputusan The Fed  ataupun pernyataan pejabat mereka tidak sesuai ekspektasi pelaku pasar.

Melansir data Refinitiv, pada perdagangan kemarin, Senin (29/4/2024) harga emas berakhir di US$2.334,43 per troy ons atau turun 0,14% dibandingkan sehari sebelumnya.

Sementara hari ini, harga emas sedikit mengalami apresiasi sebesar 0,02% ke angka US$2.334,99/troy ons pada pukul 05:31 WIB.

Dikutip dari kitco.com, penggerak harga emas dunia pada 2024 khususnya dalam jangka waktu dekat yakni penyeimbangan kembali sentimen dari ekuitas, menurut bank swasta Swiss Lombard Odier.

Laporan terbaru oleh Florian Ielpo, Kepala Makro dan Multi Aset dan Didier Rabattu, CIO, dari Sustainability Equities, berusaha mengendalikan sejumlah faktor yang diketahui untuk menentukan faktor apa lagi yang mungkin mendorong harga emas lebih tinggi.

Reli yang terjadi pada harga emas secara umum dipicu oleh interaksi yang cukup kompleks antara faktor-faktor yang diketahui dan yang mungkin tidak diketahui, termasuk pendorong fundamental tradisional seperti inflasi, suku bunga riil dan penghindaran risiko, fenomena terbaru pembelian bank sentral dalam jumlah besar, dan "perasaan bearish yang timbul dari pasar ekuitas yang mahal."

Pergerakan emas global hari ini mungkin cenderung stagnan mengingat pasar cenderung menunggu hasil suku bunga The Fed dan pernyataan Jerome Powell selaku Chairman The Fed dalam konferensi pers yang akan dilaksanakan pada Kamis dini hari (2/5/2024) waktu Indonesia.

Namun, emas bisa bergerak liar jika pernyataan Powell bersebrangan dengan ekspektasi pasar atau malah sebaliknya mulai mengindikasikan pemangkasan. Harga sang logam mulia bisa jatuh drastis jika Powell kembalu melontarkan pernyataan hawkish. Namun, jika Powell mulai melunak maka emas bisa saja terbang.

Pertengahan pekan ini, The Fed akan mengumumkan kebijakan suku bunga yang berpotensi masih akan tetap tinggi. Hal ini terjadi mengingat data-data ekonomi AS masih cukup solid sehingga potensi pemangkasan suku bunga masih cukup sulit terjadi.

Salah satunya inflasi AS yang masih cukup sticky bahkan cenderung mengalami kenaikan. Angka inflasi AS periode Maret berada di angka 3,5% (year on year/yoy) atau lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya yang berada di angka 3,2% yoy.

Pasar semakin pesimis mengenai pemangkasan suku bunga di AS setelah data terbaru pengeluaran pribadi warga AS atau Personal Consumption Expenditures (PCE) masih kencang.

AS mengumumkan laju PCE bulanan (month to month/mtm) stagnan di 0,3% tetapi secara tahunan meningkat 2,7% pada Maret 2024.
PCE inti stagnan di 2,8% (yoy) pada Maret 2024. Kondisi ini menandai masih membandelnya inflasi AS sehingga bisa menghalangi The Fed memangkas suku bunga.

Pada beberapa kesempatan sebelumnya, pejabat The Fed termasuk Chairman The Fed Jerome Powell mengindikasikan pemangkasan masih lama. Pasalnya, inflasi AS masih kencang.

Data PCE adalah pertimbangan utama The Fed dalam menentukan kebijakan suku bunga.

Hal ini semakin menjauhi target The Fed yakni 2%. Jika inflasi AS masih cukup sulit ditekan, maka penurunan suku bunga AS akan sulit terjadi tahun ini. Bahkan beberapa survei menunjukkan bahwa The Fed tampaknya tidak akan memangkas suku bunganya (no landing).

Hingga saat ini, survei pelaku pasar yang terdapat dalam CME FedWatch Tool menunjukkan 44,4% meyakini The Fed mulai memangkas suku bunganya untuk pertama kalinya terjadi pada September 2024 sebesar 25 basis poin (bps) dan hingga Desember 2024, total pemangkasan suku bunga hanya terjadi satu kali.

Kebijakan hawkish The Fed akan melambungkan dolar AS dan imbal hasil US Treasury. Keduanya berdampak negatif ke emas. Penguatan dolar membuat konversi pembelian semakin mahal sehingga menurunkan permintaan emas. Emas juga tidak menawarkan imbal hasil sehingga kenaikan imbal hasil US Treasury akan membuat emas kurang menarik.

Namun akan berbeda halnya jika terdapat ketidakpastian baik perang maupun sentimen negatif dari sisi fiskal suatu negara yang membuat pelaku pasar hingga bank sentral cenderung memilih emas sebagai safe haven asset. dilansir cnbcindonesia.com

Tags
SHARE